Senin, 06 Oktober 2008

paradigma moral

Hukum & Paradigma Moral
Oleh Charles Beraf *
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini memanggil dan menginstruksikan Jaksa Agung Hendarman Supandji segera mengambil langkah penting dan tepat untuk memulihkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap Kejaksaan Agung selaku pilar penegakan hukum di Indonesia. Instruksi Presiden Yudhoyono itu disampaikan kepada Hendarman setelah melihat perkembangan kasus rekaman pembicaraan Artalyta dengan pejabat tinggi dan jaksa Urip Tri Gunawan maupun dengan mantan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Kompas, 16 Juni 2008).
Ini sebuah tindakan yang menarik karena rusaknya rasa kepercayaan masyarakat terhadap Kejaksaan Agung hendak ditanggapi dengan langkah yang penting dan tepat. Seperti apa langkah itu, kita menunggu saat eksekusinya nanti.
Secara filosofis langkah hukum apa pun yang diambil semestinya bertujuan menegakkan keadilan. Keadilan merupakan unsur konstitutif dari hukum dan karena itu hukum menjadi bagian tugas etis manusia atau seperti yang pernah dikatakan Filosof Immanuel Kant (1724 -1804), hukum merupakan imperatif kategoris, yakni imperatif menegakkan keadilan.
Namun kita tak bisa sangkal bahwa substansi, struktur dan kultur hukum di Indonesia belum cukup memberikan garansi bagi tegaknya keadilan. Hal ini tampak dalam berbagai perilaku aparat pemerintah dan penegak hukum yang kurang responsif terhadap isu HAM, demokrasi dan ekologi. Dalam banyak hal, ketika masyarakat menghendaki perubahan struktur ketidakadilan sosial, politik atau budaya, hal itu justru dilawan dengan arogansi kekuasaan. Kekuasaan kerap dipakai sebagai instrumen penenggelaman kasus kejahatan, yang sebenarnya secara objektif terbukti. Kita ambil contoh kasus Soeharto. Dalam kasus ini, para ahli hukum berusaha sejauh mungkin menunjukkan bahwa tidak ada pasal-pasal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dilanggar, karena berbagai tindakan bekas presiden itu, termasuk tindakan memakai demikian banyak uang melalui yayasan-yayasan yang dipimpinnya, ada dasarnya secara hukum. Dengan begitu, sekalipun sebagian besar anggota publik dan para mahasiswa khususnya berpendapat bahwa Soeharto harus dihukum berat karena memakai uang negara dengan sewenang-wenang, para ahli hukumnya dapat berkutat bahwa demi tegaknya hukum, Soeharto tidak boleh dihukum karena tidak ada pasal yang membuktikan bahwa ia melanggar (Ignas Kleden, 2004: 161)
Hal semacam itu bukan tidak mungkin melahirkan preseden buruk untuk para penegak hukum. Kredibilitas dan akuntabilitas para penegak tererosi. Publik menjadi skeptis terhadap tiap diskursus penanganan yang dibangun oleh para penegak, karena bisa saja kasus yang sedang atau nanti ditangani bernasib serupa dengan kasus lain sebelumnya yang belum tuntas diselesaikan atau yang sengaja dihentikan oleh para penegak).
Moral Pardigm
Krisis kepercayaan terhadap sistem hukum dan perilaku para penegak hanya dapat dipulihkan apabila paradigma kekuasaan yang dianut oleh birokrasi pemerintahan diganti dengan paradigma moral. Paradigma moral menunjuk pada nilai hukum dan keadilan yang bersumber dari citra manusia sebagai makhluk moral. Menurut paradigma moral, manusia bukan untuk hukum, melainkan hukum untuk manusia.
Dalam konteks itu, yang berlaku nanti dalam penanganan bukan sekedar pemberlakuan aturan hukum, tetapi terutama kebijaksanaan moral. Para penegak perlu bijaksana dalam mencari, mempertimbangkan serta menggunakan alternatif penanganan lain (non yuridis) demi tegaknya keadilan. Kebijaksanaan moral ini, di satu sisi, memungkinkan tegaknya keadilan sebagai fokus perhatian penegakan hukum, dan di sisi lain, menempatkan hukum bukan sebagai sesuatu yang absolut, melainkan hanya sebagai instrumen pencapaian keadilan.
Kebijaksanaan moral ini pertama-tama terimplementasi melalui upaya para penegak untuk membuat pertanggungjawaban secara legal dan moral di hadapan masyarakat. Dalam hal ini, kepada publik, patut dijelaskan alasan mengapa dalam kasus-kasus tertentu, mereka (para penegak) bisa melepaskan diri dari batasan-batasan hukum yang berlaku, tetapi secara moral bisa dibenarkan. Pertanggungjawaban semacam ini memungkinkan terciptanya diskursus publik tentang alternatif manakah yang harus diambil guna menegakkan keadilan, termasuk bagaimana kemudian merakit sebuah hukum yang peduli keadilan ketika berhadapan dengan kasus-kasus tertentu. Dengan ini, publik sesungguhnya ditarik, tidak hanya untuk memikirkan alternatif-alternatif penanganan tertentu, tetapi juga untuk mengontrol langkah yang diambil sebagai garansi bahwa langkah tersebut memiliki basis moral yang bisa diterima dan dibenarkan.
Selain itu, para penegak harus kebal terhadap pelbagai kepentingan politis – subjektif. Keadilan tidak bisa ditumbalkan cuma dengan, misalnya, uang atau jabatan tertentu. Keadilan, sebagaimana menurut filosof Socrates, adalah nilai tertinggi dalam masyarakat dan karena itu, harus mengatasi individualitas tiap orang. Para penegak harus bebas dari kepentingan subjektif mana pun.
Di tengah erosi kepercayaan terhadap kinerja para penegak dan di hadapan sekian banyak aturan hukum yang bermasalah, imunitas dan kebijaksanaan moral para penegak merupakan hal yang sangat berharga nilainya dalam menjamin tegaknya keadilan. Menegakkan keadilan secara arif dan murni, selain dapat mengembalikan citra para penegak di hadapan publik, juga menangkal terjadinya pembiasan kasus kejahatan (minimalisme moral) ke tengah publik.
Itulah kiat yang harus dipegang ketika mengambil langkah penanganan nanti. Apa pun yang terjadi, keadilan memang harus tetap ditegakkan.

Charles Beraf, Wartawan, Wakil Direktur Penerbit Lamalera, Jakarta

Hukuman mati

Mendamaikan yang legal dan yang moral
Oleh Charles Beraf

Kontroversi mengenai hukuman mati hingga kini belum berujung di negeri ini. Pada ranah konseptual, ada yang memandang hukuman mati sebagai bentuk negativitas demi tercapainya harmoni sosial. Semakin radikal sebuah negativitas, semakin besar kemungkinan bertumbuhnya keamanan. Yang lain memandang hukuman mati sebagai suatu mekanisme pemberangusan atas martabat manusia. Martabat manusia adalah nilai konstitutif yang menentukan keberadaan manusia sebagai manusia dalam konteks sosial tertentu. Martabat ini tertegas, selain dalam pemenuhan, juga dalam pengakuan atas hak-hak yang dimiliki tiap pribadi manusia, dalam hal ini, hak hidup. Karena itu, penyangkalan atas hak itu adalah penyangkalan atas manusia sebagai manusia. Pada ranah praksis, terjadi pemutlakan dan pembenaran atas penanganan prosedural (legalisme) di satu pihak dan di pihak lain, menguatnya perjuangan advokatif dan aksi-aksi demonstratif dengan misi membela kemanusiaan.
Kontroversi ini dalam arti tertentu menjadi isyarat perlunya ‘telaah ulang’ atas bentuk penanganan yuridis yang telah diambil. Bila kontroversi ini berkenaan dengan masalah perlu tidaknya hukuman mati, maka upaya ‘telaah ulang” ini sama sekali tidak berurusan dengan seberapa besar kadar kepatuhan atas prosedur hukum yang telah berlaku, melainkan berurusan dengan masalah esensial tidaknya bentuk penanganan yuridis itu bagi kehidupan manusia. Status questionis yang mesti diajukan dalam ‘telaah ulang’ ini adalah apakah dan sejauh mana bentuk penanganan yuridis itu menghadirkan apa yang esensial, yang memiliki preferensi pada kemanusiaan? Atau apakah dan sejauh mana bentuk penanganan yuridis itu mengandung keadilan sebagai nilai konstitutifnya?
Memeriksa Argumen
Untuk menjawab pertanyaan di atas perlu diperiksa argumen penetapan dan (atau pembenaran) hukuman mati sebagai langkah yuridis. Yang menjadi premis atau nilai utama dalam upaya pembenaran hukuman mati adalah penghormatan mutlak terhadap kehidupan manusia. Mereka dihukum, karena telah melanggar cita-cita bersama masyarakat. Hukuman mati di sini dianggap sebagai shock therapy. Seturut argumen ini, sebuah shock dan ketakutan untuk berbuat jahat hanya bisa lahir kalau terhadap tindak kejahatan tertentu ditangani dengan tindakan kejahatan serupa. Seorang pembunuh harus ditangani dengan tindakan pembunuhan pula. Jadi, melegalkan hukuman mati adalah upaya untuk meminimalisasi bahkan menghilangkan tindakan menghilangkan nyawa orang dalam masyarakat.
Argumen di atas, hemat saya, timpang dalam dua matra berikut. Pertama, tampak dalam argumen itu kerancuan: menghukum para pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dengan melegalkan sebuah pelanggaran HAM. Memberlakukan secara konsekuen penghormatan terhadap nyawa manusia sembari membentuk sebuah pengecualian, di mana pengambilan nyawa itu dilegalkan. Adalah rancu, apabila negara, di dalam diri para perangkat hukumnya, membunuh orang sambil mengatakan “membunuh itu tidak boleh”. Cita-cita menghargai secara mutlak kehidupan manusia harus berlaku juga bagi negara, dan hanya dengan itu negara dapat menjalankan fungsinya sebagai penegak cita-cita tersebut.
Itu berarti keberfungsian negara (baca: para penegak hukum) dalam menegakkan cita-cita keadilan tidak bisa tidak dikerangkakan dalam cara yang menunjukkan adanya penghargaan terhadap hidup manusia. Penanganan yuridis yang diambil negara tidak bisa tidak sepadan dengan cita-cita keadilan. Dengan kesepadanan itu, negara mendapat legitimitasnya di tengah masyarakat. Masyarakat akan menaruh kepercayaan sungguh pada negara jika negara dapat turut menjamin cita-cita keadilannya.
Dalam konteks ini, terhadap para pelaku kejahatan, negara tetap mempunyai hak untuk menghukum, sebab oleh tindakan kejahatannya pelaku membahayakan masyarakat. Hukuman yang dijatuhkan perangkat hukum sebagai aparat negara kepada pelaku didasarkan pada pertimbangan; sejauh mana orang yang melakukan tindak kejahatan tertentu itu menjadi ancaman bagi keamanan di dalam masyarakat. Itu artinya hukuman semestinya menjadi kemungkinan bagi pelaku kejahatan untuk dikembalikan kepada masyarakat (civilisasi). Hukuman harus bisa menyiapkan orang agar tidak lagi menjadi ancaman keamanan bagi masyarakat. Hukuman harus memiliki fungsi edukatif bagi para pelaku kejahatan.
Kedua, berkenaan dengan hal kemutlakan dalam penghormatan terhadap hidup manusia. Ada tiga pendapat yang bisa dipakai sebagai rujukan guna memeriksa argumen pembenaran di atas. Pertama, penghormatan terhadap hidup manusia itu mutlak, artinya diwajibkan secara tanpa syarat di dalam batas-batas atau kategori-kategori apa pun. Hormat terhadap hidup manusia tidak bisa direlativir. Bila, terhadap kasus kejahatan tertentu, yang harus dikedepankan adalah penghormatan yang mutlak terhadap martabat manusia, maka penghormatan itu tidak hanya mengacu pada para pelaku kejahatan, tetapi juga mengacu pada mereka yang melakukan kejahatan tertentu itu. Kedua, penghormatan terhadap hidup manusia itu mutlak, artinya penghormatan itu sendiri menjadi “panduan ideal” bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk “melakukan yang terbaik” demi mencapai nilai-nilai yang diidealkan. Ketiga, penghormatan terhadap hidup manusia itu mutlak, artinya mengandung “sifat sama sekali tak terkecualikan”. Hal menghormati itu disebut mutlak dalam arti bila penghormatan itu tampak signifikan dalam situasi apa pun. Adalah keliru jika untuk mengurangi tindakan kejahatan tertentu dalam sebuah masyarakat para penegak hukum memilih menghabiskan nyawa para pelaku kejahatan tertentu itu. Dalam sebuah masyarakat yang kaotis sekalipun, penghormatan terhadap martabat manusia tetap menjadi hal yang mutlak.
Argumen moral semacam itu pada akhirnya harus bermuara pada argumen legal, yakni perlunya reformasi hukum. Reformasi itu mencakup tiga matra berikut, yaitu struktur hukum, kultur hukum dan substansi hukum yang bermuara kepada rasa keadilan masyarakat. Ketiga aspek hukum tersebut terkait dengan konteks masyarakat transisi, termasuk rasa keadilannya. Dengan kata lain, reformasi hukum pada dasarnya identik dengan proses reformasi struktur keadilan sosial. Oleh karena itu, reformasi hukum sangat diperlukan untuk merombak struktur ketidakadilan yang dapat membahayakan eksistensi dan integritas masyarakat itu.
Pertama, berkenaan dengan matra struktur hukum, reformasi sesungguhnya menyangkut orientasi dan prilaku aparat penegak hukum. Dalam sistem penegakan hukum, doktrin dan sikap aparat penegak hukum sebagai pelindung hak-hak masyarakat harus dikembangkan di atas prinsip-prinsip profesionalitas. Dalam prinsip profesionalisme diperlukan revitalisasi konsep catur wangsa penegak hukum, yaitu bahwa hakim, jaksa, polisi dan pengacara merupakan satu kesatuan yang tidak bersifat subordinatif. Jadi, walaupun secara formal ada pemisahan instansi, tetapi secara substansial, keempat pihak di atas menjalankan fungsi koordinatif untuk satu tujuan, yaitu menyediakan keadilan bagi masyarakat.
Kedua, berkenaan dengan matra kultur hukum, masalah hukuman mati merupakan warisan kolonial yang bukan tidak mungkin secara represif dikorporasikan sebagai hukum negara ini. Bahkan, pada era pascakolonial hukuman mati diamini seakan-akan lahir dari kultur masyarakat Indonesia umumnya. Reformasi terhadap kultur ini harus dimulai dengan membangun opini dan pola pikir atau cara pandang para penegak maupun masyarakat umumnya. Opini dan cara pandang ini, selain menyangkut impotensi hukuman mati dalam menegakkan keadilan, juga berkenaan dengan irrelevansi dan insignifikansi hukuman mati di tengah kultur masyarakat Indonesia.
Ketiga, berkenaan dengan matra substansi hukum, peran hukum sebagai instrumen keadilan harus difungsikan melalui jalur-jalur konstitusional. Menurut teori konsensus, jalur konstitusional merupakan manifestasi persetujuan rakyat yang memiliki legitimasi hukum. Tentu dibutuhkan di sini sikap responsif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam proses legislasi nasional, yakni menghilangkan atau menggantikan hukuman mati dengan bentuk penanganan yuridis yang manusiawi. Sikap responsif DPR terhadap substansi hukum itu perlu dikembangkan melalui pemberdayaan lembaga DPR, optimalisasi hak-hak anggota DPR dan prosedur-prosedur konstitusional yang lebih peka terhadap tuntutan rasa keadilan masyarakat. *)

*)Charles Beraf, Wartawan dan Wakil Direktur Penerbit Lamalera, Jakarta.

perempuan

Perempuan yang berperempuan
Oleh Charles Beraf *

Dalam sebuah suratnya kepada Ny RM Abendanon, Kartini secara dramatis menegaskan bahwa persamaan derajat antara perempuan dan laki-laki merupakan sebuah kemestian, yang tidak bisa tidak diperjuangkan oleh kaum perempuan di tengah himpitan budaya patriarki. “…Tidak, tidak! Kami manusia, seperti halnya laki-laki…..Lepaskan belenggu saya! Izinkan saya berbuat dan saya menunjukkan, bahwa saya manusia. Manusia, seperti laki-laki.”(Surat-surat Kartini, kepada Ny RM Abendanon, Agustus 1900).
Pekik perjuangan yang dikumandangkan Kartini seabad yang lalu itu kini tampak ‘menajam’ dalam pelbagai gerakan feminisme di Indonesia. Gerakan feminisme sesungguhnya lahir sebagai suatu reaksi penolakan atas asosiasi kultural terhadap keberadaan dan peran perempuan. Pada sebagian besar kebudayaan yang bercorak patriarkal, perempuan dilihat lebih dekat/identik dengan nature, alam dan karena itu lebih kerap diasosiasikan dengan lingkup domestik, hanya tinggal dalam rumah, sedangkan lingkup publik sering diklaim sebagai ‘milik’ laki-laki. Hanya laki-laki yang eksis, bereksistensi, keluar kepada publik serta memegang jabatan atau peran-peran penting dalam masyarakat, sedangkan perempuan menempati posisi sekunder. Karena itu, secara positip pelbagai gerakan feminisme sesungguhnya berusaha memposisikan perempuan-juga sebagai subjek yang distan, dominan dan aktif, yang bisa mewujudkan eksistensi dirinya seperti laki-laki. Gerakan feminisme tidak lain adalah upaya ‘mendudukkan’ perempuan secara sama (baca:setara) dengan laki-laki.
Namun kesetaraan ini dalam praksisnya sangat sering diterjemahkan melampaui batas norma feminin kaum perempuan. Perjuangan kesetaraan tidak terbatas dalam pengertian “sama-sama mewujudkan diri (bereksistensi)” tetapi lebih dari itu dalam pengertian “menjadi dan memiliki seperti apa yang ada pada laki-laki”. Kenyataan bahwa kualitas-kualitas maskulin, seperti kualitas untuk dapat berkompetisi, dominan, ambisi vertikal untuk mencapai puncak dan bahkan kualitas yang negatip seperti eksploitasi dan kekuasaan kerapkali diadopsi oleh kaum perempuan. Secara ironis, norma maskulin seperti status dan kekuasaan yang dibenci oleh para feminis karena dominasi dan kekuasaannya justru menjadi norma yang ingin dimiliki (Ibrahim dan Suranto, Wanita dan Media Cetak, Bandung:Rosda, 1998, hal. 84).
Perangkap kultural dan keterjebakan perempuan
Sebagian besar kebudayaan mengukuhkan bahwa untuk bisa bereksistensi atau berkiprah di tengah publik, manusia harus menjadi kuat, dominan dan berkuasa. Kualitas-kualitas ini diyakini hanya melekat pada laki-laki. Hanya laki-laki atau sekurang-kurangnya yang memiliki kualitas-kualitas itu dapat menjadi penguasa atau pengontrol nature,alam. Dan dengan menjadi penguasa, pengontrol alam seseorang sebenarnya mewujudkan eksistensi dirinya.
Penempatan kualitas maskulin sebagai jaminan eksistensi ini berdampak pada upaya mengidentifikasi kebudayaan sebagai wadah penguasaan atau pengontrolan atas alam. Kebudayaan karenanya menjadi superior atas alam dunia dan berusaha untuk mensosialisasikan alam dalam upaya untuk mengatur dan mempertahankan hubungan antara masyarakat dengan kekuatan dan kondisi lingkungan (Henrietta Moore,Feminisme dan Antropologi, Jakarta: Obor, 1998, hal. 31).
Di sini terdapat dominasi corak maskulin atas kebudayaan, yang terungkap dalam pandangan bahwa kebudayaan tidak bisa ada atau tidak bisa berjalan tanpa adanya kualitas-kualitas maskulin. Kemestian ini menunjukkan bahwa perwujudan diri (bereksistensi) dalam konteks kebudayaan tidak bisa tidak mengikuti forma kultural yang telah menempatkan kualitas-kualitas maskulin atau kaum laki-laki sebagai superior dalam kebudayaan.
Forma kultural ini secara faktual berakar baik dalam perilaku hidup maupun dalam status sosial yang diemban, yang lebih banyak menampakkan sosok kelelakian. Kaum perempuan yang berada dalam lingkup kebudayaan yang demikian kemudian menjadikan ini sebagai patokan yang harus diadopsi, dimiliki dan diwujudkan. Dalam peran dan aktivitasnya, perempuan tidak henti-hentinya mengumandangkan perjuangannya (baca: emansipasi) sebagai upaya penyetaraan dengan kaum laki-laki, baik dalam perilaku maupun status sosial tertentu.
Oleh pengagungan kualitas – kualitas maskulin, di satu sisi laki-laki mendapat tempat yang istimewa dalam kebudayaan, tetapi di sisi lain perempuan justru tetap mendapat tempat yang kurang menguntungkan dalam masyarakat. Perempuan tetap berada pada posisi yang lemah. Kualitas-kualitas feminin yang dimiliki perempuan seperti sensitivitas, perhatian dan kelemahlembutan tidak bisa terangkat dalam peran-peran publik. Justru sebaliknya, dengan menempatkan laki-laki pada posisi teratas yang harus diikuti, daya-daya feminin kaum perempuan menjadi ‘mandul’ dan tidak berarti banyak dalam suatu kebudayaan atau masyarakat tertentu. Perempuan tetap berada di bawah kendali atau kontrol laki-laki. Kodrat dan fungsi keibuan perempuan tidak berkembang menurut adanya melainkan dikondisikan dan dideterminasi oleh sistem sosial yang sudah kuat mengakar: pria di atas segalanya.
Sangat boleh jadi dengan ini perempuan teralienasi dari dirinya, dari kualitas-kualitas yang seharusnya ia hidupi dalam masyarakat atau kebudayaan tertentu. “Rumah” dirinya yang harus ia tempati dan maknai menjadi sesuatu yang ‘lain’ dan asing, karena yang menjadi tolok ukur perjuangan dan penghayatannya adalah ‘rumah’ diri laki-laki. Romantisasi kualitas maskulin dalam kebudayaan sesungguhnya turut menggiring perempuan dari kualitas-kualitasnya (kualitas feminin) kepada kualitas-kualitas maskulin.
Reposisi perjuangan perempuan
Di tengah himpitan kultur patriarkat yang menindas, RA Kartini bangkit dan memperjuangkan nasib kaum perempuan. Kartini sesungguhnya merindukan agar perempuan-perempuan Indonesia berada sebagai pribadi yang bebas dan otonom serta mampu mewujudkan diri sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki. Perjuangannya boleh dikatakan bisa menjadi inspirasi dan basis pelbagai gerakan perempuan (emansipasi) yang merebak akhir-akhir ini di Indonesia.
Gerakan feminisme atau emansipasi, menurut Anne Hommes, dimaksudkan untuk mengkritik struktur patriarkat yang ada dalam masyarakat dan menciptakan suatu struktur masyarakat yang lebih adil. Hal ini mengandaikan ada perubahan cara pandang atas peran yang semetinya diemban oleh masing-masing pihak sesuai dengan kemampuan atau kualitas yang dimiliki. Feminisme, menurut Hommes, tidak hanya berarti pembebasan ‘dari’ macam-macam stereotip peranan laki-laki dan perempuan, tetapi juga pembebasan untuk menjadi manusia yang utuh (sebagai laki-laki atau sebagai perempuan) melalui perubahan struktur masyarakat yang menindas maupun sikap individu (1992:116).
Perjuangan atau tepatnya pembebasan untuk menjadi manusia yang utuh ini telah mendapat signal yang positip ketika eksistensi perempuan diakui sebagai manusia bermartabat dan sederajat dengan laki-laki. Emansipasi (Latin:emancipare) yang berarti membebaskan atau melepaskan, bertujuan mengangkat kaum perempuan yang dulunya terbelakang menjadi sederajat dengan laki-laki. Upaya ini dapat dicapai melalui kegiatan pendidikan dan keterampilan.
Namun kesadaran akan kesamaan derajat dan perjuangan melawan struktur patriarkat yang menindas belum sepenuhnya membuat seorang perempuan menjadi diri sendiri sebagai manusia yang utuh. Keutuhan menjadi signifikan ketika perempuan berani melepaskan kualitas – kualitas maskulin yang telah diadopsinya dan mengangkat serta mewujudkan femininitas sebagai miliknya yang natural, alami (kodrati) dalam tiap bidang kehidupan yang diemban, termasuk dalam sektor-sektor publik. Karena itu, Francoise d’ Eaubonne, seorang penulis kawakan asal Perancis, mengatakan secara tegas bahwa pada masa sekarang perempuan-perempuan perlu membangun gerakan ekofeminisme (ecologi/alam dan feminisme). Sebuah gerakan reidentifikasi perempuan dengan nature, yang bertujuan membangkitkan kepedulian terhadap natura perempuan serta memberdayakan potensi-potensi atau kualitas-kualitas yang dimiliki perempuan agar eksis di tengah kebudayaan atau masyarakat tertentu.
Dalam batas ini, ekofeminisme pada dasarnya mensinyalir eksistensi perempuan yang sesungguhnya, yang membawa dalam dirinya femininitas atau daya-daya kodrati (alami). Perempuan yang sesungguhnya, dalam perspektif ekofeminisme, adalah perempuan yang tidak bisa mengasingkan diri atau lari dari naturanya ketika terjun menjalankan perannya, sekalipun dalam suatu sektor publik. Perempuan yang sesungguhnya adalah perempuan yang hidup dan berjuang dengan femininitasnya, dengan kualitas-kualitas feminin yang dimilikinya.
Melalui gerakan ekofeminisme ini, perempuan dapat melestarikan kualitas-kualitas femininnya di satu pihak dan di lain pihak bisa mengimbangi dominasi sistem maskulin yang sudah demikian kuat dalam kebudayaan atau masyarakat. Dengan pengimbangan itu, perempuan – dalam perannya baik di sektor domestik maupun publik tidak merasa ‘terhimpit’ oleh kekuatan maskulin tertentu, melainkan memiliki kans dalam mengaktualisasikan pemeliharaan, cinta, sensitivitas dan kepedulian. Tanpa merasa dibatasi oleh suatu sistem atau norma maskulin tertentu, perempuan mewujudkan eksistensi dirinya, sekalipun dalam banyak hal harus berada dalam dunia maskulin.
Perwujudan femininitas (bukan maskulinitas) di tengah kebudayaan atau masyarakat kita yang masih bercorak patriarkal perlu menjadi suatu agenda urgent bagi perempuan dewasa ini. Saya kira, hal ini sejalan dengan perjuangan RA Kartini seabad yang lalu. Kartini tidak berjuang untuk menjadi laki-laki, tetapi menjadi manusia (perempuan) utuh seperti laki-laki. ...”lepaskan..! Izinkan saya berbuat, dan saya menunjukkan bahwa saya manusia!” demikan pekiknya. * * *


Charles Beraf, Wartawan dan Breung Alep (Wakil Direktur) Penerbit Lamalera, Jakarta.

Puasa

Tobat, Keadilan dan Rekonsiliasi
Charles Beraf
Ignas Kleden dalam tulisannya bertajuk “Fenomenologi Tobat dan Politik” (Kompas, 13/3/ 2007) telah menunjukkan esensi pertobatan yang sesungguhnya. Sayang, Ignas Kleden tidak memberi tekanan yang kuat tentang konsekuensi dari pertobatan, yang berdaya memulihkan keadaan yang telah rusak oleh karena perbuatan atau prilaku yang salah. Ia hanya menyatakan bahwa tobat menuntut sikap berbalik dari kesalahan, tetapi tidak menunjukkan di satu sisi, tanggung jawab pelaku atas kerusakan yang telah timbul oleh karena kesalahannya dan di sisi lain, bagaimana agar dengan tobat itu antara pelaku dan pihak yang telah dirugikan atau dikorbankan (korban) bisa tercipta rekonsiliasi.
Tobat dan Keadilan
Benar bahwa tobat berkenaan dengan perasaan bersalah yang dengannya seseorang terdorong untuk berbalik, tidak mengulangi kecerobohan dalam prilakunya. Tetapi perasaan bersalah dan pembalikan itu tidak berarti apa – apa untuk menyembuhkan luka atau kerusakan oleh karena kecerobohan itu. Sikap berbalik harus memiliki implikasi pada hal tanggung jawab pelaku atas kerusakan maupun atas pihak yang telah menjadi korban dari kesalahan yang ditimbulkan pelaku. Tobat, karena itu, tidak hanya berkutat dengan dimensi presentis-futuris dari tindakan, yakni suatu habitus atau tindakan yang baru, tetapi juga yang berkenaan dengan dimensi masa lalu, yakni para korban atau kerugian akibat kesalahan. Tobat dari seseorang yang melakukan korupsi atas sejumlah uang negara tidak cukup bernilai bagi dirinya dan negara yang telah dirugikan jika hanya dengan menyatakan bahwa ia tidak (akan) mengulangi lagi korupsi. Sikap berbalik dari korupsi menjadi sungguh bernilai jika koruptor itu juga sungguh konsekuen dengan konsekuensi dari tindakan korupsi yang dilakukannya, misalnya kesediaan menerima hukuman atau mengembalikan uang negara yang telah di’makan’nya itu.
Itu berarti tobat sama sekali tidak dimaksudkan agar kesalahan masa lalu seseorang diputihkan atau diabaikan. Pemutihan atau pengabaian atas kesalahan justru menjadikan kesalahan sebagai sesuatu yang banal, yang bisa seenaknya dibuat, karena toh pada akhirnya bisa dengan seenaknya pula diputihkan. Membiarkan para koruptor melenggang seenaknya tanpa dikenakan penanganan hukum yang serius bukan tidak mungkin bisa melahirkan semakin banyak kasus korupsi, karena ada keyakinan bahwa toh pada akhirnya tetap juga korupsi tidak tertangani. Itu bukan intensi dalam tobat. Tetapi justru sebaliknya, selain tobat memungkinkan seseorang menjadi semakin radikal dalam menunjukkan tanggung jawab atas setiap prilakunya, termasuk di dalamnya tanggung jawab atas kesalahan, juga memungkinkan seseorang untuk semakin membukakan diri (kesediaan) terhadap pelbagai bentuk tanggung jawab dari pihak lain (sesama, negara, bahkan Tuhan) atas diri dan prilakunya.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, tobat dengan dua kemungkinan implikatif itu memberikan jaminan yang kuat demi terciptanya keadilan. Tobat tidak mengabaikan keadilan, melainkan melapangkan ruang bagi tegaknya keadilan. Keadilan dalam hal ini tidak hanya berurusan dengan hal pengenaan sejumlah ketentuan terhadap seseorang yang melakukan kesalahan, tetapi juga berkenaan dengan hal penerimaan seseorang terhadap sejumlah ketentuan itu. Betapa sering penanganan sejumlah kasus di negara ini berujung ketidakadilan karena penolakan atau pengelakan terhadap ketentuan hukum yang dikenakan. Hanya dengan menyerahkan sejumlah uang kepada jaksa atau hakim, seorang koruptor dengan mudah terelak dari hukuman. Tobat seorang koruptor hanya bisa berbuah keadilan di negara ini jika selain ia berani bertanggung jawab atas prilakunya mengkorupsi sejumlah uang negara, menyatakan bahwa oleh karena tindakannya ia harus dihukum, juga ia bersedia menerima tanggung jawab negara, antara lain melalui pengenaan atau penanganan hukum atas tindakannya.
Dengan demikian jelas bahwa tobat sebagai jalan lapang kepada keadilan sungguh berpaut erat dengan komitmen bersama (kolektif), entah itu dari negara ataupun dari lembaga tertentu dalam negara. Bertobat berarti berpaling dari tindakan menyimpang serentak menyelaraskan tindakan atau prilaku dengan komitmen bersama. Klaim DPR sebagai lembaga yang berjuang menyuarakan kepentingan rakyat harus tampak selaras dalam prilaku para anggotanya. Bila ada anggota DPR yang telah menyimpang maka tobat baginya adalah mengubah prilakunya agar selaras dengan komitmen lembaga. Bila pengadaan laptop bagi semua anggota DPR, sebagaimana diputuskan dalam rapat pleno Badan Urusan Rumah Tangga DPR, sungguh tidak selaras dengan komitmen DPR sebagai lembaga negara, maka tobat bagi DPR adalah tidak lagi bersusah-susah memikirkan dan membicarakan hal itu dan kembali berjuang demi kepentingan rakyat banyak.
Rekonsiliasi dan Pembebasan
Tobat patut diikuti dengan rekonsiliasi. Rekonsiliasi diperlukan untuk menyembuhkan dukacita dan menegakkan kembali kualitas – kualitas kemanusiaan yang paling dalam. Melalui rekonsiliasi, kemanusiaan pelaku dan korban dipulihkan.
Seorang teolog Lutheran Jerman, Geiko Műller – Fahrenholz, dalam bukunya “Rekonsiliasi” (Maumere: Ledalero, 2006), mengusung rekonsiliasi sebagai upaya memecahkan spiral kesalahan dan dosa dalam masyarakat. Menurutnya, rekonsiliasi sesungguhnya berkenaan dengan ikhwal penyembuhan atas kenangan – kenangan tertentu. Rekonsiliasi membersihkan kenangan – kenangan itu dari komponen-komponen yang pahit dan agresif serta memusatkan perhatian pada keserupaan yang paling dalam dari upaya pencarian manusia. Rekonsiliasi mampu melihat “Aku” di dalam “Dikau”, juga musuh, dan belajar untuk merasa terusik oleh tindak kekerasan besar-besaran yang bercokol pada kedalaman manusia.
Rekonsiliasi, karena itu, berdaya membebaskan masa kini dan masa depan dari warisan-warisan masa lalu yang menghantu. Hal ‘membebaskan’, dalam bahasa Ibrani diungkapkan secara padat dengan kata “pasah”, yang berarti melewati, melangkahi, melompati. Kata “pasah” mengacu pada tindakan Allah yang menolong dan membebaskan Israel dari dosa dan maut, yaitu membawa hidup dan kegembiraan bagi Israel. “Pasah” menjadi akar perayaan “Paska” orang – orang Kristen sebagai perayaan pembebasan dari dosa. Dalam Paska, rekonsiliasi yang membebaskan antara Allah dan manusia terjadi.
Rekonsiliasi yang membebaskan ini mengandaikan ada kehendak dan kebebasan pada semua pihak yang melaksanakannya. Rekonsiliasi tidak dapat dibangun sebagai sebuah target politik. Tidak ada rekonsiliasi yang dilaksanakan sebagai satu otomatisme karena rekayasa pihak luar. Rekonsiliasi adalah suatu perwujudan kebebasan yang terjadi antarpihak, dan karena itu tidak dapat dipaksakan. Pelaku dan korban sama – sama memerlukan waktu entah dengan pantang atau dengan puasa untuk menyadari dirinya secara utuh, menerima orang lain dengan sejarah dan penderitaannya, menumbuhkan keberanian serta kesediaan untuk berlangkah bersama ke masa depan. Inilah tiga syarat terciptanya rekonsiliasi yang membebaskan.
Pertama, baik korban maupun pelaku perlu memiliki kesadaran yang utuh mengenai masa lalunya. Menyadari masa lalu berarti menerima identitas seluruh diri secara utuh, termasuk di dalamnya pengalaman terluka, dikorbankan dan melukai. Kesadaran akan sejarah sendiri menjadi syarat agar bisa turut merasakan apa yang dialami oleh pihak lain. Tanpa kesadaran akan sejarah sendiri, tanpa kepekaan akan diri sendiri, seseorang tidak akan pernah sampai pada apa yang dirasakan oleh orang lain. Seorang pelaku kejahatan HAM tidak akan merasakan penderitaan pihak yang diperkosa haknya, jika ia sendiri tidak menyadari prilakunya sebagai kejahatan.
Kedua, menerima orang lain dengan sejarah penderitaannya. Sejarah yang hitam didekati dengan cara yang lebih inklusif. Baik pelaku maupun korban melintasi batas dan mengakui bahwa manusia pada hakikatnya sama, entah di sini, di sana atau di mana saja. Manusia dan perannya tidak dapat direduksi hanya kepada peran korban atau pelaku dalam kasus tertentu. Manusia memiliki sejarah hidup, yang di dalamnya ada kesalahan. Mereduksi seorang tahanan politik G30S- PKI hanya pada perannya sebagai pelaku kejahatan politik G30S-PKI berarti mengabaikan dirinya sebagai subjek yang memiliki sejarah yang beragam.
Ketiga, kesediaan dan keberanian untuk melangkah bersama menuju masa depan. Rekonsiliasi menuntut pelaku maupun korban memiliki perspektif masa depan. Kesadaran akan pentingnya kebersamaan dalam menghadapi tantangan di masa depan, akan mempertemukan pelaku dan korban. Kesadaran ini mendorong seseorang untuk keluar dari keterkurungan dirinya dan melihat hal yang umum dan yang menyatukan. Seorang pemimpin akan begitu mudah diterima bawahannya, jika ia berani mengelak diri, keluar dari pola hidup elitis dan bersedia merangkul bawahannya sebagai mitra menuju masa depan bersama.
Sampai di sini patut ditegaskan bahwa setelah seseorang menyatakan bertobat dari prilaku yang salah, ia perlu mengadakan rekonsiliasi. Namun dengan adanya tobat dan rekonsiliasi tidak berarti seseorang dibebaskan dari tanggung jawabnya atas kerusakan yang timbul akibat prilakunya yang salah. Dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara, keadilan tetap harus ditegakkan.
Charles Beraf, Mahasiswa STF Ledalero-Maumere.

ekologi