Senin, 06 Oktober 2008

Puasa

Tobat, Keadilan dan Rekonsiliasi
Charles Beraf
Ignas Kleden dalam tulisannya bertajuk “Fenomenologi Tobat dan Politik” (Kompas, 13/3/ 2007) telah menunjukkan esensi pertobatan yang sesungguhnya. Sayang, Ignas Kleden tidak memberi tekanan yang kuat tentang konsekuensi dari pertobatan, yang berdaya memulihkan keadaan yang telah rusak oleh karena perbuatan atau prilaku yang salah. Ia hanya menyatakan bahwa tobat menuntut sikap berbalik dari kesalahan, tetapi tidak menunjukkan di satu sisi, tanggung jawab pelaku atas kerusakan yang telah timbul oleh karena kesalahannya dan di sisi lain, bagaimana agar dengan tobat itu antara pelaku dan pihak yang telah dirugikan atau dikorbankan (korban) bisa tercipta rekonsiliasi.
Tobat dan Keadilan
Benar bahwa tobat berkenaan dengan perasaan bersalah yang dengannya seseorang terdorong untuk berbalik, tidak mengulangi kecerobohan dalam prilakunya. Tetapi perasaan bersalah dan pembalikan itu tidak berarti apa – apa untuk menyembuhkan luka atau kerusakan oleh karena kecerobohan itu. Sikap berbalik harus memiliki implikasi pada hal tanggung jawab pelaku atas kerusakan maupun atas pihak yang telah menjadi korban dari kesalahan yang ditimbulkan pelaku. Tobat, karena itu, tidak hanya berkutat dengan dimensi presentis-futuris dari tindakan, yakni suatu habitus atau tindakan yang baru, tetapi juga yang berkenaan dengan dimensi masa lalu, yakni para korban atau kerugian akibat kesalahan. Tobat dari seseorang yang melakukan korupsi atas sejumlah uang negara tidak cukup bernilai bagi dirinya dan negara yang telah dirugikan jika hanya dengan menyatakan bahwa ia tidak (akan) mengulangi lagi korupsi. Sikap berbalik dari korupsi menjadi sungguh bernilai jika koruptor itu juga sungguh konsekuen dengan konsekuensi dari tindakan korupsi yang dilakukannya, misalnya kesediaan menerima hukuman atau mengembalikan uang negara yang telah di’makan’nya itu.
Itu berarti tobat sama sekali tidak dimaksudkan agar kesalahan masa lalu seseorang diputihkan atau diabaikan. Pemutihan atau pengabaian atas kesalahan justru menjadikan kesalahan sebagai sesuatu yang banal, yang bisa seenaknya dibuat, karena toh pada akhirnya bisa dengan seenaknya pula diputihkan. Membiarkan para koruptor melenggang seenaknya tanpa dikenakan penanganan hukum yang serius bukan tidak mungkin bisa melahirkan semakin banyak kasus korupsi, karena ada keyakinan bahwa toh pada akhirnya tetap juga korupsi tidak tertangani. Itu bukan intensi dalam tobat. Tetapi justru sebaliknya, selain tobat memungkinkan seseorang menjadi semakin radikal dalam menunjukkan tanggung jawab atas setiap prilakunya, termasuk di dalamnya tanggung jawab atas kesalahan, juga memungkinkan seseorang untuk semakin membukakan diri (kesediaan) terhadap pelbagai bentuk tanggung jawab dari pihak lain (sesama, negara, bahkan Tuhan) atas diri dan prilakunya.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, tobat dengan dua kemungkinan implikatif itu memberikan jaminan yang kuat demi terciptanya keadilan. Tobat tidak mengabaikan keadilan, melainkan melapangkan ruang bagi tegaknya keadilan. Keadilan dalam hal ini tidak hanya berurusan dengan hal pengenaan sejumlah ketentuan terhadap seseorang yang melakukan kesalahan, tetapi juga berkenaan dengan hal penerimaan seseorang terhadap sejumlah ketentuan itu. Betapa sering penanganan sejumlah kasus di negara ini berujung ketidakadilan karena penolakan atau pengelakan terhadap ketentuan hukum yang dikenakan. Hanya dengan menyerahkan sejumlah uang kepada jaksa atau hakim, seorang koruptor dengan mudah terelak dari hukuman. Tobat seorang koruptor hanya bisa berbuah keadilan di negara ini jika selain ia berani bertanggung jawab atas prilakunya mengkorupsi sejumlah uang negara, menyatakan bahwa oleh karena tindakannya ia harus dihukum, juga ia bersedia menerima tanggung jawab negara, antara lain melalui pengenaan atau penanganan hukum atas tindakannya.
Dengan demikian jelas bahwa tobat sebagai jalan lapang kepada keadilan sungguh berpaut erat dengan komitmen bersama (kolektif), entah itu dari negara ataupun dari lembaga tertentu dalam negara. Bertobat berarti berpaling dari tindakan menyimpang serentak menyelaraskan tindakan atau prilaku dengan komitmen bersama. Klaim DPR sebagai lembaga yang berjuang menyuarakan kepentingan rakyat harus tampak selaras dalam prilaku para anggotanya. Bila ada anggota DPR yang telah menyimpang maka tobat baginya adalah mengubah prilakunya agar selaras dengan komitmen lembaga. Bila pengadaan laptop bagi semua anggota DPR, sebagaimana diputuskan dalam rapat pleno Badan Urusan Rumah Tangga DPR, sungguh tidak selaras dengan komitmen DPR sebagai lembaga negara, maka tobat bagi DPR adalah tidak lagi bersusah-susah memikirkan dan membicarakan hal itu dan kembali berjuang demi kepentingan rakyat banyak.
Rekonsiliasi dan Pembebasan
Tobat patut diikuti dengan rekonsiliasi. Rekonsiliasi diperlukan untuk menyembuhkan dukacita dan menegakkan kembali kualitas – kualitas kemanusiaan yang paling dalam. Melalui rekonsiliasi, kemanusiaan pelaku dan korban dipulihkan.
Seorang teolog Lutheran Jerman, Geiko Műller – Fahrenholz, dalam bukunya “Rekonsiliasi” (Maumere: Ledalero, 2006), mengusung rekonsiliasi sebagai upaya memecahkan spiral kesalahan dan dosa dalam masyarakat. Menurutnya, rekonsiliasi sesungguhnya berkenaan dengan ikhwal penyembuhan atas kenangan – kenangan tertentu. Rekonsiliasi membersihkan kenangan – kenangan itu dari komponen-komponen yang pahit dan agresif serta memusatkan perhatian pada keserupaan yang paling dalam dari upaya pencarian manusia. Rekonsiliasi mampu melihat “Aku” di dalam “Dikau”, juga musuh, dan belajar untuk merasa terusik oleh tindak kekerasan besar-besaran yang bercokol pada kedalaman manusia.
Rekonsiliasi, karena itu, berdaya membebaskan masa kini dan masa depan dari warisan-warisan masa lalu yang menghantu. Hal ‘membebaskan’, dalam bahasa Ibrani diungkapkan secara padat dengan kata “pasah”, yang berarti melewati, melangkahi, melompati. Kata “pasah” mengacu pada tindakan Allah yang menolong dan membebaskan Israel dari dosa dan maut, yaitu membawa hidup dan kegembiraan bagi Israel. “Pasah” menjadi akar perayaan “Paska” orang – orang Kristen sebagai perayaan pembebasan dari dosa. Dalam Paska, rekonsiliasi yang membebaskan antara Allah dan manusia terjadi.
Rekonsiliasi yang membebaskan ini mengandaikan ada kehendak dan kebebasan pada semua pihak yang melaksanakannya. Rekonsiliasi tidak dapat dibangun sebagai sebuah target politik. Tidak ada rekonsiliasi yang dilaksanakan sebagai satu otomatisme karena rekayasa pihak luar. Rekonsiliasi adalah suatu perwujudan kebebasan yang terjadi antarpihak, dan karena itu tidak dapat dipaksakan. Pelaku dan korban sama – sama memerlukan waktu entah dengan pantang atau dengan puasa untuk menyadari dirinya secara utuh, menerima orang lain dengan sejarah dan penderitaannya, menumbuhkan keberanian serta kesediaan untuk berlangkah bersama ke masa depan. Inilah tiga syarat terciptanya rekonsiliasi yang membebaskan.
Pertama, baik korban maupun pelaku perlu memiliki kesadaran yang utuh mengenai masa lalunya. Menyadari masa lalu berarti menerima identitas seluruh diri secara utuh, termasuk di dalamnya pengalaman terluka, dikorbankan dan melukai. Kesadaran akan sejarah sendiri menjadi syarat agar bisa turut merasakan apa yang dialami oleh pihak lain. Tanpa kesadaran akan sejarah sendiri, tanpa kepekaan akan diri sendiri, seseorang tidak akan pernah sampai pada apa yang dirasakan oleh orang lain. Seorang pelaku kejahatan HAM tidak akan merasakan penderitaan pihak yang diperkosa haknya, jika ia sendiri tidak menyadari prilakunya sebagai kejahatan.
Kedua, menerima orang lain dengan sejarah penderitaannya. Sejarah yang hitam didekati dengan cara yang lebih inklusif. Baik pelaku maupun korban melintasi batas dan mengakui bahwa manusia pada hakikatnya sama, entah di sini, di sana atau di mana saja. Manusia dan perannya tidak dapat direduksi hanya kepada peran korban atau pelaku dalam kasus tertentu. Manusia memiliki sejarah hidup, yang di dalamnya ada kesalahan. Mereduksi seorang tahanan politik G30S- PKI hanya pada perannya sebagai pelaku kejahatan politik G30S-PKI berarti mengabaikan dirinya sebagai subjek yang memiliki sejarah yang beragam.
Ketiga, kesediaan dan keberanian untuk melangkah bersama menuju masa depan. Rekonsiliasi menuntut pelaku maupun korban memiliki perspektif masa depan. Kesadaran akan pentingnya kebersamaan dalam menghadapi tantangan di masa depan, akan mempertemukan pelaku dan korban. Kesadaran ini mendorong seseorang untuk keluar dari keterkurungan dirinya dan melihat hal yang umum dan yang menyatukan. Seorang pemimpin akan begitu mudah diterima bawahannya, jika ia berani mengelak diri, keluar dari pola hidup elitis dan bersedia merangkul bawahannya sebagai mitra menuju masa depan bersama.
Sampai di sini patut ditegaskan bahwa setelah seseorang menyatakan bertobat dari prilaku yang salah, ia perlu mengadakan rekonsiliasi. Namun dengan adanya tobat dan rekonsiliasi tidak berarti seseorang dibebaskan dari tanggung jawabnya atas kerusakan yang timbul akibat prilakunya yang salah. Dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara, keadilan tetap harus ditegakkan.
Charles Beraf, Mahasiswa STF Ledalero-Maumere.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar