Senin, 06 Oktober 2008

perempuan

Perempuan yang berperempuan
Oleh Charles Beraf *

Dalam sebuah suratnya kepada Ny RM Abendanon, Kartini secara dramatis menegaskan bahwa persamaan derajat antara perempuan dan laki-laki merupakan sebuah kemestian, yang tidak bisa tidak diperjuangkan oleh kaum perempuan di tengah himpitan budaya patriarki. “…Tidak, tidak! Kami manusia, seperti halnya laki-laki…..Lepaskan belenggu saya! Izinkan saya berbuat dan saya menunjukkan, bahwa saya manusia. Manusia, seperti laki-laki.”(Surat-surat Kartini, kepada Ny RM Abendanon, Agustus 1900).
Pekik perjuangan yang dikumandangkan Kartini seabad yang lalu itu kini tampak ‘menajam’ dalam pelbagai gerakan feminisme di Indonesia. Gerakan feminisme sesungguhnya lahir sebagai suatu reaksi penolakan atas asosiasi kultural terhadap keberadaan dan peran perempuan. Pada sebagian besar kebudayaan yang bercorak patriarkal, perempuan dilihat lebih dekat/identik dengan nature, alam dan karena itu lebih kerap diasosiasikan dengan lingkup domestik, hanya tinggal dalam rumah, sedangkan lingkup publik sering diklaim sebagai ‘milik’ laki-laki. Hanya laki-laki yang eksis, bereksistensi, keluar kepada publik serta memegang jabatan atau peran-peran penting dalam masyarakat, sedangkan perempuan menempati posisi sekunder. Karena itu, secara positip pelbagai gerakan feminisme sesungguhnya berusaha memposisikan perempuan-juga sebagai subjek yang distan, dominan dan aktif, yang bisa mewujudkan eksistensi dirinya seperti laki-laki. Gerakan feminisme tidak lain adalah upaya ‘mendudukkan’ perempuan secara sama (baca:setara) dengan laki-laki.
Namun kesetaraan ini dalam praksisnya sangat sering diterjemahkan melampaui batas norma feminin kaum perempuan. Perjuangan kesetaraan tidak terbatas dalam pengertian “sama-sama mewujudkan diri (bereksistensi)” tetapi lebih dari itu dalam pengertian “menjadi dan memiliki seperti apa yang ada pada laki-laki”. Kenyataan bahwa kualitas-kualitas maskulin, seperti kualitas untuk dapat berkompetisi, dominan, ambisi vertikal untuk mencapai puncak dan bahkan kualitas yang negatip seperti eksploitasi dan kekuasaan kerapkali diadopsi oleh kaum perempuan. Secara ironis, norma maskulin seperti status dan kekuasaan yang dibenci oleh para feminis karena dominasi dan kekuasaannya justru menjadi norma yang ingin dimiliki (Ibrahim dan Suranto, Wanita dan Media Cetak, Bandung:Rosda, 1998, hal. 84).
Perangkap kultural dan keterjebakan perempuan
Sebagian besar kebudayaan mengukuhkan bahwa untuk bisa bereksistensi atau berkiprah di tengah publik, manusia harus menjadi kuat, dominan dan berkuasa. Kualitas-kualitas ini diyakini hanya melekat pada laki-laki. Hanya laki-laki atau sekurang-kurangnya yang memiliki kualitas-kualitas itu dapat menjadi penguasa atau pengontrol nature,alam. Dan dengan menjadi penguasa, pengontrol alam seseorang sebenarnya mewujudkan eksistensi dirinya.
Penempatan kualitas maskulin sebagai jaminan eksistensi ini berdampak pada upaya mengidentifikasi kebudayaan sebagai wadah penguasaan atau pengontrolan atas alam. Kebudayaan karenanya menjadi superior atas alam dunia dan berusaha untuk mensosialisasikan alam dalam upaya untuk mengatur dan mempertahankan hubungan antara masyarakat dengan kekuatan dan kondisi lingkungan (Henrietta Moore,Feminisme dan Antropologi, Jakarta: Obor, 1998, hal. 31).
Di sini terdapat dominasi corak maskulin atas kebudayaan, yang terungkap dalam pandangan bahwa kebudayaan tidak bisa ada atau tidak bisa berjalan tanpa adanya kualitas-kualitas maskulin. Kemestian ini menunjukkan bahwa perwujudan diri (bereksistensi) dalam konteks kebudayaan tidak bisa tidak mengikuti forma kultural yang telah menempatkan kualitas-kualitas maskulin atau kaum laki-laki sebagai superior dalam kebudayaan.
Forma kultural ini secara faktual berakar baik dalam perilaku hidup maupun dalam status sosial yang diemban, yang lebih banyak menampakkan sosok kelelakian. Kaum perempuan yang berada dalam lingkup kebudayaan yang demikian kemudian menjadikan ini sebagai patokan yang harus diadopsi, dimiliki dan diwujudkan. Dalam peran dan aktivitasnya, perempuan tidak henti-hentinya mengumandangkan perjuangannya (baca: emansipasi) sebagai upaya penyetaraan dengan kaum laki-laki, baik dalam perilaku maupun status sosial tertentu.
Oleh pengagungan kualitas – kualitas maskulin, di satu sisi laki-laki mendapat tempat yang istimewa dalam kebudayaan, tetapi di sisi lain perempuan justru tetap mendapat tempat yang kurang menguntungkan dalam masyarakat. Perempuan tetap berada pada posisi yang lemah. Kualitas-kualitas feminin yang dimiliki perempuan seperti sensitivitas, perhatian dan kelemahlembutan tidak bisa terangkat dalam peran-peran publik. Justru sebaliknya, dengan menempatkan laki-laki pada posisi teratas yang harus diikuti, daya-daya feminin kaum perempuan menjadi ‘mandul’ dan tidak berarti banyak dalam suatu kebudayaan atau masyarakat tertentu. Perempuan tetap berada di bawah kendali atau kontrol laki-laki. Kodrat dan fungsi keibuan perempuan tidak berkembang menurut adanya melainkan dikondisikan dan dideterminasi oleh sistem sosial yang sudah kuat mengakar: pria di atas segalanya.
Sangat boleh jadi dengan ini perempuan teralienasi dari dirinya, dari kualitas-kualitas yang seharusnya ia hidupi dalam masyarakat atau kebudayaan tertentu. “Rumah” dirinya yang harus ia tempati dan maknai menjadi sesuatu yang ‘lain’ dan asing, karena yang menjadi tolok ukur perjuangan dan penghayatannya adalah ‘rumah’ diri laki-laki. Romantisasi kualitas maskulin dalam kebudayaan sesungguhnya turut menggiring perempuan dari kualitas-kualitasnya (kualitas feminin) kepada kualitas-kualitas maskulin.
Reposisi perjuangan perempuan
Di tengah himpitan kultur patriarkat yang menindas, RA Kartini bangkit dan memperjuangkan nasib kaum perempuan. Kartini sesungguhnya merindukan agar perempuan-perempuan Indonesia berada sebagai pribadi yang bebas dan otonom serta mampu mewujudkan diri sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki. Perjuangannya boleh dikatakan bisa menjadi inspirasi dan basis pelbagai gerakan perempuan (emansipasi) yang merebak akhir-akhir ini di Indonesia.
Gerakan feminisme atau emansipasi, menurut Anne Hommes, dimaksudkan untuk mengkritik struktur patriarkat yang ada dalam masyarakat dan menciptakan suatu struktur masyarakat yang lebih adil. Hal ini mengandaikan ada perubahan cara pandang atas peran yang semetinya diemban oleh masing-masing pihak sesuai dengan kemampuan atau kualitas yang dimiliki. Feminisme, menurut Hommes, tidak hanya berarti pembebasan ‘dari’ macam-macam stereotip peranan laki-laki dan perempuan, tetapi juga pembebasan untuk menjadi manusia yang utuh (sebagai laki-laki atau sebagai perempuan) melalui perubahan struktur masyarakat yang menindas maupun sikap individu (1992:116).
Perjuangan atau tepatnya pembebasan untuk menjadi manusia yang utuh ini telah mendapat signal yang positip ketika eksistensi perempuan diakui sebagai manusia bermartabat dan sederajat dengan laki-laki. Emansipasi (Latin:emancipare) yang berarti membebaskan atau melepaskan, bertujuan mengangkat kaum perempuan yang dulunya terbelakang menjadi sederajat dengan laki-laki. Upaya ini dapat dicapai melalui kegiatan pendidikan dan keterampilan.
Namun kesadaran akan kesamaan derajat dan perjuangan melawan struktur patriarkat yang menindas belum sepenuhnya membuat seorang perempuan menjadi diri sendiri sebagai manusia yang utuh. Keutuhan menjadi signifikan ketika perempuan berani melepaskan kualitas – kualitas maskulin yang telah diadopsinya dan mengangkat serta mewujudkan femininitas sebagai miliknya yang natural, alami (kodrati) dalam tiap bidang kehidupan yang diemban, termasuk dalam sektor-sektor publik. Karena itu, Francoise d’ Eaubonne, seorang penulis kawakan asal Perancis, mengatakan secara tegas bahwa pada masa sekarang perempuan-perempuan perlu membangun gerakan ekofeminisme (ecologi/alam dan feminisme). Sebuah gerakan reidentifikasi perempuan dengan nature, yang bertujuan membangkitkan kepedulian terhadap natura perempuan serta memberdayakan potensi-potensi atau kualitas-kualitas yang dimiliki perempuan agar eksis di tengah kebudayaan atau masyarakat tertentu.
Dalam batas ini, ekofeminisme pada dasarnya mensinyalir eksistensi perempuan yang sesungguhnya, yang membawa dalam dirinya femininitas atau daya-daya kodrati (alami). Perempuan yang sesungguhnya, dalam perspektif ekofeminisme, adalah perempuan yang tidak bisa mengasingkan diri atau lari dari naturanya ketika terjun menjalankan perannya, sekalipun dalam suatu sektor publik. Perempuan yang sesungguhnya adalah perempuan yang hidup dan berjuang dengan femininitasnya, dengan kualitas-kualitas feminin yang dimilikinya.
Melalui gerakan ekofeminisme ini, perempuan dapat melestarikan kualitas-kualitas femininnya di satu pihak dan di lain pihak bisa mengimbangi dominasi sistem maskulin yang sudah demikian kuat dalam kebudayaan atau masyarakat. Dengan pengimbangan itu, perempuan – dalam perannya baik di sektor domestik maupun publik tidak merasa ‘terhimpit’ oleh kekuatan maskulin tertentu, melainkan memiliki kans dalam mengaktualisasikan pemeliharaan, cinta, sensitivitas dan kepedulian. Tanpa merasa dibatasi oleh suatu sistem atau norma maskulin tertentu, perempuan mewujudkan eksistensi dirinya, sekalipun dalam banyak hal harus berada dalam dunia maskulin.
Perwujudan femininitas (bukan maskulinitas) di tengah kebudayaan atau masyarakat kita yang masih bercorak patriarkal perlu menjadi suatu agenda urgent bagi perempuan dewasa ini. Saya kira, hal ini sejalan dengan perjuangan RA Kartini seabad yang lalu. Kartini tidak berjuang untuk menjadi laki-laki, tetapi menjadi manusia (perempuan) utuh seperti laki-laki. ...”lepaskan..! Izinkan saya berbuat, dan saya menunjukkan bahwa saya manusia!” demikan pekiknya. * * *


Charles Beraf, Wartawan dan Breung Alep (Wakil Direktur) Penerbit Lamalera, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar