Selasa, 05 Januari 2010

Lamalera, ikan Paus dan kehidupan (Sepercik yang terlupakan)

Oleh Charles Beraf
Beberapa waktu lalu laut sawu di Nusa Tenggara Timur (NTT) direncanakan akan dideklarasikan sebagai kawasan konservasi nasional untuk melindungi mamalia laut khususnya ikan paus yang dianggap terancam punah. Waktu itu Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut Ditjen Kelautan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Agus Dermawan, di Bogor, mengatakan rencana deklarasi Laut Sawu sebagai kawasan konservasi nasional akan dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan "World Ocean Confrence and Coral Triangle Initiative Summit" di Manado, Sulawesi Utara, Mei lalu. Menurut Dermawan rencana itu didukung pemerintah NTT (AntaraNews, 12/2.2009).
Di tengah menderasnya kampanye global tentang perlindungan terhadap satwa langka, rencana semacam itu wajar-wajar saja. Ikan Paus, sebagaimana disinyalir Agus Dermawan dalam Antaranews telah masuk dalam kategori satwa langka. Karena itu ikan Paus perlu mendapat perlindungan, termasuk meminimalisasi penangkapan atasnya.
Namun dalam konteks Lamalera, harapan itu tampaknya masih jauh panggang dari api. Penangkapan ikan Paus yang telah dilakonkan masyarakat adat Lamalera di NTT bukan sekadar suatu aktivitas konsumtif, melainkan lebih dari itu telah menjadi suatu aktivitas kultural, sosial dan religius masyarakat Lamalera- suatu hal yang jarang dijumpai di belahan dunia manapun. Dimensi spasial inilah yang mesti ditelaah guna memahami mengapa masyarakat Lamalera tetap (bersikukuh) memilih dan menghidupi cara ini.
Lamalera dan tradisi tangkap Paus
Masyarakat Lamalera terdiri dari beberapa komunitas kekerabatan yang disebut suku atau marga. Secara historis, masyarakat Lamalera sesungguhnya bukan penduduk asli pulau Lembata. Kelompok eksodus pertama datang dari Kerajaan Luwuk di Sulawesi Selatan ketika terjadi penaklukan kerajaan – kerajaan di Sulawesi (seperti Kerajaan Bone, Luwuk dan Sopeng) oleh kerajaan Majapahit semasa Pemerintahan Prabu Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada. Eksodus ini diawali dengan mengikuti armada perang Patih Gajah Mada. Dalam eksodus ini, mereka menyinggahi beberapa daerah, antara lain Pulau Seram, Gorom, Ambon dan kemudian tiba dan menetap di Keroko Tafa Teria Gere atau pulau Lepanbatan.
Namun beberapa waktu kemudian eksodus terjadi lagi ketika pulau Lepanbatan diterjang bencana. Mereka menyeberang ke pulau Lembata dengan perahu yang bernama Kebakopukâ dan menyinggahi beberapa tempat, antara lain Tanjung Gelu Gala, Fai Teba, Tanjung Atadei, Levo Bala dan akhirnya menetap di Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela (sekarang bernama Wulandoni). Selama berada di tempat ini, mereka menjalani kegiatan lefa (melaut) di sekitar parairan Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela. Namun, kerapkali mereka terbawa arus ke barat – di wilayah yang sekarang disebut Lamalera. Di wilayah ini mereka menemukan bahwa ada tempat yang cocok untuk melabuhkan dan mengamankan perahu (kné) dan ada sumber air yang bisa dikonsumsi (vai meting). Penemuan ini turut mendorong mereka untuk berpindah dari Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela ke Lamalera.
Kelompok eksodus ini terdiri dari tiga marga/suku, yakni Levo hajjo (Blikololong), Lamanudek dan Tanahkrova. Tiga marga ini disebut sebagai lika telo (tiga tungku).Levo Hajjo melahirkan suku Blikololong, Bataona dan Levo Tuká. Suku Bataona melahirkan tiga suku, yakni Bediona, Batafor dan Sulaona. Inilah kelompok eksodus yang pertama mendiami Lamalera.
Setelah beberapa waktu menyusullah suku/marga lain dari beberapa daerah di Timor, Flores, Solor dan berdiam bersama di Lamalera. Beberapa marga atau suku itu antara lain, Lamakera, Tapooná, Lamanifak, Atakei, Oleoná, Lefolei, Ebaoná, Lelaoná dan Atafollo. Kebersamaan yang cukup lama telah menyatukan mereka dalam adat, tradisi yang sama, termasuk di dalamnya tradisi penangkapan ikan Paus atau dalam bahasa setempat disebut tena laja (perahu layar).
Meski demikian, bila dirunut secara historis, tradisi tena laja bukan muncul setelah suku-suku ini berada dan berdiam di Lamalera, tetapi dibawa bersamaan dengan eksodus mereka dari Luwuk – Sulawesi, yakni sekitar abad ke-14. Syair Lia asa usu Lamalera bisa menggambarkan hal ini: “Seba olak lau léfa harri lollo dai épitkâ, dai marangkâ apé tafa géré raé motti Lango Fujjo raé morri Nara Gua Tana. Feffa bélâkâ Bapa Raja Hayam Wuruk pasa-pasa pekkâ lefuk lau Luwuk (Kucari nafkah di tengah laut kembali ke pantai merapat ke pinggir, nampak nyala api di tempat Lango Fujjo - nama lain dari Lamalera, di sana, di Gubuk Nara Gua Tana. Dan demi Kehendak Bapa Raja Hayam Wuruk terpaksa kutinggalkan desaku di Luwuk sana)(Bdk. Gorys Keraf, Morfologi Dialek Lamalera( ms), 1978)pp.229-230).
Kuatnya interaksi dan kohesi sosial antarsuku Lamalera dari waktu ke waktu turut pula memperkukuh tradisi tena laja. Begitu pula sebaliknya dari tena laja mereka hidup, bergantung dan membangun jejaring hidup dengan yang lain, membina relasi intersubjektif dengan siapa saja. Dalam hal pembagian hasil tangkapan misalnya, siapa pun di kampung itu, terutama para janda dan yatim piatu, meski tidak ikut melaut, tetap diberi jatah (gratis) sebagai tanda kesatuan dan persaudaraan.
Lebih dari itu, ketika agama modern masuk (Katolik Roma) ke Lamalera pada tahun 1881, tradisi ini sama sekali tidak dihilangkan, tetapi justru semakin diberi makna, bobot religius yang tinggi-suatu hal yang sudah semakin sering diabaikan, terutama oleh mereka yang mengaku diri sebagai agamawan. Sebelum, selama dan sesudah kegiatan penangkapan ikan Paus selalu diadakan kebaktian secara Katolik (misa lefa/laut), doa dan pemberkatan dari pastor (pendeta Katolik) untuk memohon restu dan perlindungan dari Ama Lera Wulan Tana Ekan (Sebutan untuk Allah).
Sampai di sini jelas bahwa tradisi tena laja tidak hanya sekedar merepresentasikan, tapi juga mengabadikan (mempertahankan) korps, keberadaan orang – orang Lamalera sebagai tubuh yang hidup. Hidup dengan pengertian, makna, filosofi, hasrat dan persepsi kultural tertentu diwujudkan dengan menghidupkan tradisi ini. Melalui penghidupan ini, orang-orang Lamalera dimungkinkan untuk menemukan dan mendefinisikan identitas mereka sendiri di hadapan suatu entitas sosial atau kultural tertentu; indentitas sosial telah banyak berurusan dengan bagaimana suatu masyarakat memahami karya yang diolahnya sendiri dan karya orang lain. Dengan kata lain, upaya penghidupan ini tidak lain adalah cara vital orang-orang Lamalera dalam melanggengkan pengertian, makna, hasrat dan filosofi yang sudah dianutnya.
Menyikapi ancaman kepunahan
Suku-suku di Lamalera adalah satu-satunya etnis di Indonesia, yang sampai sekarang masih menangkap ikan paus secara adat dengan peralatan tradisional. Paus yang ditangkap adalah jenis sperm whale (Physeter macrocephalus) atau paus berkepala besar. Jenis ini bergigi terbesar dan berbobot antara 25 sampai dengan 50 ton perekor. Masyarakat Lamalera pantang menangkap paus tak bergigi (seperti tebang pilih di hutan), terutama jenis paus biru, yang bobotnya bisa sampai 120 ton.
Menurut data terakhir dari the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, habitat paus kepala besar merata di seluruh dunia, mulai dari kawasan kutub, sampai ke laut tropis, termasuk di laut Sawu (tidak hanya di Lamalera). Populasi jenis paus ini masih sangat besar, berkisar antara 200.000 sampai dengan dua juta ekor. Sementara jenis paus lain, seperti Atlantic Northern Right Whale dan Pacific Northern Right Whale populasinya tinggal ratusan ekor (Bdk. F. Rahardi, ”Menyadap Energi Lamalera” dalam Maria Andriana C.s, Merayakan Cinta (Jakarta: Penerbit Lamalera,2008), p. 79).
Jelas di sini bahwa masalah ancaman kepunahan saat ini bukan terutama disebabkan oleh aktivitas penangkapan secara tradisional. Meski tidak menjadi sasaran penangkapan (bukan perburuan) orang – orang Lamalera, Atlantic Northern Right Whale dan Pacific Northern Right Whale terancam punah. Sebaliknya, bisa diduga, seperti satwa besar lain di darat, kepunahan bisa terjadi secara natural atau juga karena alam lingkungan yang tak layak huni (misalnya, sudah teracuni oleh unsur-unsur kimiawi tertentu).
Hemat saya, perlu dipikirkan (ulang) secara lebih matang upaya mengalihkan atau mengurangi aktivitas penangkapan yang dilakukan orang – orang Lamalera guna membendung kepunahan yang terjadi. Demi kelanggengan tradisi yang amat langka dan berharga itu serta kelanggengan kehidupan di Lamalera, bisa ditempuh juga cara-cara alternatif lain guna menjadikan habitat paus sebagai habitat yang aman, seperti pengendalian atau pengalihan limbah industri, larangan penggunaan alat-alat modern dalam penangkapan, dan sebagainya.Singkat kata, kita tidak bisa menggunakan alasan kehidupan dengan cara menghabiskan (secara perlahan sekalipun) kehidupan orang-orang lain, termasuk tradisi hidup yang sudah sangat mengakar itu. * * *

Charles Beraf, Wartawan Flores Pos dan Breung Alep Penerbit Lamalera –Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar