Senin, 06 Oktober 2008

paradigma moral

Hukum & Paradigma Moral
Oleh Charles Beraf *
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini memanggil dan menginstruksikan Jaksa Agung Hendarman Supandji segera mengambil langkah penting dan tepat untuk memulihkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap Kejaksaan Agung selaku pilar penegakan hukum di Indonesia. Instruksi Presiden Yudhoyono itu disampaikan kepada Hendarman setelah melihat perkembangan kasus rekaman pembicaraan Artalyta dengan pejabat tinggi dan jaksa Urip Tri Gunawan maupun dengan mantan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Kompas, 16 Juni 2008).
Ini sebuah tindakan yang menarik karena rusaknya rasa kepercayaan masyarakat terhadap Kejaksaan Agung hendak ditanggapi dengan langkah yang penting dan tepat. Seperti apa langkah itu, kita menunggu saat eksekusinya nanti.
Secara filosofis langkah hukum apa pun yang diambil semestinya bertujuan menegakkan keadilan. Keadilan merupakan unsur konstitutif dari hukum dan karena itu hukum menjadi bagian tugas etis manusia atau seperti yang pernah dikatakan Filosof Immanuel Kant (1724 -1804), hukum merupakan imperatif kategoris, yakni imperatif menegakkan keadilan.
Namun kita tak bisa sangkal bahwa substansi, struktur dan kultur hukum di Indonesia belum cukup memberikan garansi bagi tegaknya keadilan. Hal ini tampak dalam berbagai perilaku aparat pemerintah dan penegak hukum yang kurang responsif terhadap isu HAM, demokrasi dan ekologi. Dalam banyak hal, ketika masyarakat menghendaki perubahan struktur ketidakadilan sosial, politik atau budaya, hal itu justru dilawan dengan arogansi kekuasaan. Kekuasaan kerap dipakai sebagai instrumen penenggelaman kasus kejahatan, yang sebenarnya secara objektif terbukti. Kita ambil contoh kasus Soeharto. Dalam kasus ini, para ahli hukum berusaha sejauh mungkin menunjukkan bahwa tidak ada pasal-pasal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dilanggar, karena berbagai tindakan bekas presiden itu, termasuk tindakan memakai demikian banyak uang melalui yayasan-yayasan yang dipimpinnya, ada dasarnya secara hukum. Dengan begitu, sekalipun sebagian besar anggota publik dan para mahasiswa khususnya berpendapat bahwa Soeharto harus dihukum berat karena memakai uang negara dengan sewenang-wenang, para ahli hukumnya dapat berkutat bahwa demi tegaknya hukum, Soeharto tidak boleh dihukum karena tidak ada pasal yang membuktikan bahwa ia melanggar (Ignas Kleden, 2004: 161)
Hal semacam itu bukan tidak mungkin melahirkan preseden buruk untuk para penegak hukum. Kredibilitas dan akuntabilitas para penegak tererosi. Publik menjadi skeptis terhadap tiap diskursus penanganan yang dibangun oleh para penegak, karena bisa saja kasus yang sedang atau nanti ditangani bernasib serupa dengan kasus lain sebelumnya yang belum tuntas diselesaikan atau yang sengaja dihentikan oleh para penegak).
Moral Pardigm
Krisis kepercayaan terhadap sistem hukum dan perilaku para penegak hanya dapat dipulihkan apabila paradigma kekuasaan yang dianut oleh birokrasi pemerintahan diganti dengan paradigma moral. Paradigma moral menunjuk pada nilai hukum dan keadilan yang bersumber dari citra manusia sebagai makhluk moral. Menurut paradigma moral, manusia bukan untuk hukum, melainkan hukum untuk manusia.
Dalam konteks itu, yang berlaku nanti dalam penanganan bukan sekedar pemberlakuan aturan hukum, tetapi terutama kebijaksanaan moral. Para penegak perlu bijaksana dalam mencari, mempertimbangkan serta menggunakan alternatif penanganan lain (non yuridis) demi tegaknya keadilan. Kebijaksanaan moral ini, di satu sisi, memungkinkan tegaknya keadilan sebagai fokus perhatian penegakan hukum, dan di sisi lain, menempatkan hukum bukan sebagai sesuatu yang absolut, melainkan hanya sebagai instrumen pencapaian keadilan.
Kebijaksanaan moral ini pertama-tama terimplementasi melalui upaya para penegak untuk membuat pertanggungjawaban secara legal dan moral di hadapan masyarakat. Dalam hal ini, kepada publik, patut dijelaskan alasan mengapa dalam kasus-kasus tertentu, mereka (para penegak) bisa melepaskan diri dari batasan-batasan hukum yang berlaku, tetapi secara moral bisa dibenarkan. Pertanggungjawaban semacam ini memungkinkan terciptanya diskursus publik tentang alternatif manakah yang harus diambil guna menegakkan keadilan, termasuk bagaimana kemudian merakit sebuah hukum yang peduli keadilan ketika berhadapan dengan kasus-kasus tertentu. Dengan ini, publik sesungguhnya ditarik, tidak hanya untuk memikirkan alternatif-alternatif penanganan tertentu, tetapi juga untuk mengontrol langkah yang diambil sebagai garansi bahwa langkah tersebut memiliki basis moral yang bisa diterima dan dibenarkan.
Selain itu, para penegak harus kebal terhadap pelbagai kepentingan politis – subjektif. Keadilan tidak bisa ditumbalkan cuma dengan, misalnya, uang atau jabatan tertentu. Keadilan, sebagaimana menurut filosof Socrates, adalah nilai tertinggi dalam masyarakat dan karena itu, harus mengatasi individualitas tiap orang. Para penegak harus bebas dari kepentingan subjektif mana pun.
Di tengah erosi kepercayaan terhadap kinerja para penegak dan di hadapan sekian banyak aturan hukum yang bermasalah, imunitas dan kebijaksanaan moral para penegak merupakan hal yang sangat berharga nilainya dalam menjamin tegaknya keadilan. Menegakkan keadilan secara arif dan murni, selain dapat mengembalikan citra para penegak di hadapan publik, juga menangkal terjadinya pembiasan kasus kejahatan (minimalisme moral) ke tengah publik.
Itulah kiat yang harus dipegang ketika mengambil langkah penanganan nanti. Apa pun yang terjadi, keadilan memang harus tetap ditegakkan.

Charles Beraf, Wartawan, Wakil Direktur Penerbit Lamalera, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar