Senin, 06 Oktober 2008

Hukuman mati

Mendamaikan yang legal dan yang moral
Oleh Charles Beraf

Kontroversi mengenai hukuman mati hingga kini belum berujung di negeri ini. Pada ranah konseptual, ada yang memandang hukuman mati sebagai bentuk negativitas demi tercapainya harmoni sosial. Semakin radikal sebuah negativitas, semakin besar kemungkinan bertumbuhnya keamanan. Yang lain memandang hukuman mati sebagai suatu mekanisme pemberangusan atas martabat manusia. Martabat manusia adalah nilai konstitutif yang menentukan keberadaan manusia sebagai manusia dalam konteks sosial tertentu. Martabat ini tertegas, selain dalam pemenuhan, juga dalam pengakuan atas hak-hak yang dimiliki tiap pribadi manusia, dalam hal ini, hak hidup. Karena itu, penyangkalan atas hak itu adalah penyangkalan atas manusia sebagai manusia. Pada ranah praksis, terjadi pemutlakan dan pembenaran atas penanganan prosedural (legalisme) di satu pihak dan di pihak lain, menguatnya perjuangan advokatif dan aksi-aksi demonstratif dengan misi membela kemanusiaan.
Kontroversi ini dalam arti tertentu menjadi isyarat perlunya ‘telaah ulang’ atas bentuk penanganan yuridis yang telah diambil. Bila kontroversi ini berkenaan dengan masalah perlu tidaknya hukuman mati, maka upaya ‘telaah ulang” ini sama sekali tidak berurusan dengan seberapa besar kadar kepatuhan atas prosedur hukum yang telah berlaku, melainkan berurusan dengan masalah esensial tidaknya bentuk penanganan yuridis itu bagi kehidupan manusia. Status questionis yang mesti diajukan dalam ‘telaah ulang’ ini adalah apakah dan sejauh mana bentuk penanganan yuridis itu menghadirkan apa yang esensial, yang memiliki preferensi pada kemanusiaan? Atau apakah dan sejauh mana bentuk penanganan yuridis itu mengandung keadilan sebagai nilai konstitutifnya?
Memeriksa Argumen
Untuk menjawab pertanyaan di atas perlu diperiksa argumen penetapan dan (atau pembenaran) hukuman mati sebagai langkah yuridis. Yang menjadi premis atau nilai utama dalam upaya pembenaran hukuman mati adalah penghormatan mutlak terhadap kehidupan manusia. Mereka dihukum, karena telah melanggar cita-cita bersama masyarakat. Hukuman mati di sini dianggap sebagai shock therapy. Seturut argumen ini, sebuah shock dan ketakutan untuk berbuat jahat hanya bisa lahir kalau terhadap tindak kejahatan tertentu ditangani dengan tindakan kejahatan serupa. Seorang pembunuh harus ditangani dengan tindakan pembunuhan pula. Jadi, melegalkan hukuman mati adalah upaya untuk meminimalisasi bahkan menghilangkan tindakan menghilangkan nyawa orang dalam masyarakat.
Argumen di atas, hemat saya, timpang dalam dua matra berikut. Pertama, tampak dalam argumen itu kerancuan: menghukum para pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dengan melegalkan sebuah pelanggaran HAM. Memberlakukan secara konsekuen penghormatan terhadap nyawa manusia sembari membentuk sebuah pengecualian, di mana pengambilan nyawa itu dilegalkan. Adalah rancu, apabila negara, di dalam diri para perangkat hukumnya, membunuh orang sambil mengatakan “membunuh itu tidak boleh”. Cita-cita menghargai secara mutlak kehidupan manusia harus berlaku juga bagi negara, dan hanya dengan itu negara dapat menjalankan fungsinya sebagai penegak cita-cita tersebut.
Itu berarti keberfungsian negara (baca: para penegak hukum) dalam menegakkan cita-cita keadilan tidak bisa tidak dikerangkakan dalam cara yang menunjukkan adanya penghargaan terhadap hidup manusia. Penanganan yuridis yang diambil negara tidak bisa tidak sepadan dengan cita-cita keadilan. Dengan kesepadanan itu, negara mendapat legitimitasnya di tengah masyarakat. Masyarakat akan menaruh kepercayaan sungguh pada negara jika negara dapat turut menjamin cita-cita keadilannya.
Dalam konteks ini, terhadap para pelaku kejahatan, negara tetap mempunyai hak untuk menghukum, sebab oleh tindakan kejahatannya pelaku membahayakan masyarakat. Hukuman yang dijatuhkan perangkat hukum sebagai aparat negara kepada pelaku didasarkan pada pertimbangan; sejauh mana orang yang melakukan tindak kejahatan tertentu itu menjadi ancaman bagi keamanan di dalam masyarakat. Itu artinya hukuman semestinya menjadi kemungkinan bagi pelaku kejahatan untuk dikembalikan kepada masyarakat (civilisasi). Hukuman harus bisa menyiapkan orang agar tidak lagi menjadi ancaman keamanan bagi masyarakat. Hukuman harus memiliki fungsi edukatif bagi para pelaku kejahatan.
Kedua, berkenaan dengan hal kemutlakan dalam penghormatan terhadap hidup manusia. Ada tiga pendapat yang bisa dipakai sebagai rujukan guna memeriksa argumen pembenaran di atas. Pertama, penghormatan terhadap hidup manusia itu mutlak, artinya diwajibkan secara tanpa syarat di dalam batas-batas atau kategori-kategori apa pun. Hormat terhadap hidup manusia tidak bisa direlativir. Bila, terhadap kasus kejahatan tertentu, yang harus dikedepankan adalah penghormatan yang mutlak terhadap martabat manusia, maka penghormatan itu tidak hanya mengacu pada para pelaku kejahatan, tetapi juga mengacu pada mereka yang melakukan kejahatan tertentu itu. Kedua, penghormatan terhadap hidup manusia itu mutlak, artinya penghormatan itu sendiri menjadi “panduan ideal” bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk “melakukan yang terbaik” demi mencapai nilai-nilai yang diidealkan. Ketiga, penghormatan terhadap hidup manusia itu mutlak, artinya mengandung “sifat sama sekali tak terkecualikan”. Hal menghormati itu disebut mutlak dalam arti bila penghormatan itu tampak signifikan dalam situasi apa pun. Adalah keliru jika untuk mengurangi tindakan kejahatan tertentu dalam sebuah masyarakat para penegak hukum memilih menghabiskan nyawa para pelaku kejahatan tertentu itu. Dalam sebuah masyarakat yang kaotis sekalipun, penghormatan terhadap martabat manusia tetap menjadi hal yang mutlak.
Argumen moral semacam itu pada akhirnya harus bermuara pada argumen legal, yakni perlunya reformasi hukum. Reformasi itu mencakup tiga matra berikut, yaitu struktur hukum, kultur hukum dan substansi hukum yang bermuara kepada rasa keadilan masyarakat. Ketiga aspek hukum tersebut terkait dengan konteks masyarakat transisi, termasuk rasa keadilannya. Dengan kata lain, reformasi hukum pada dasarnya identik dengan proses reformasi struktur keadilan sosial. Oleh karena itu, reformasi hukum sangat diperlukan untuk merombak struktur ketidakadilan yang dapat membahayakan eksistensi dan integritas masyarakat itu.
Pertama, berkenaan dengan matra struktur hukum, reformasi sesungguhnya menyangkut orientasi dan prilaku aparat penegak hukum. Dalam sistem penegakan hukum, doktrin dan sikap aparat penegak hukum sebagai pelindung hak-hak masyarakat harus dikembangkan di atas prinsip-prinsip profesionalitas. Dalam prinsip profesionalisme diperlukan revitalisasi konsep catur wangsa penegak hukum, yaitu bahwa hakim, jaksa, polisi dan pengacara merupakan satu kesatuan yang tidak bersifat subordinatif. Jadi, walaupun secara formal ada pemisahan instansi, tetapi secara substansial, keempat pihak di atas menjalankan fungsi koordinatif untuk satu tujuan, yaitu menyediakan keadilan bagi masyarakat.
Kedua, berkenaan dengan matra kultur hukum, masalah hukuman mati merupakan warisan kolonial yang bukan tidak mungkin secara represif dikorporasikan sebagai hukum negara ini. Bahkan, pada era pascakolonial hukuman mati diamini seakan-akan lahir dari kultur masyarakat Indonesia umumnya. Reformasi terhadap kultur ini harus dimulai dengan membangun opini dan pola pikir atau cara pandang para penegak maupun masyarakat umumnya. Opini dan cara pandang ini, selain menyangkut impotensi hukuman mati dalam menegakkan keadilan, juga berkenaan dengan irrelevansi dan insignifikansi hukuman mati di tengah kultur masyarakat Indonesia.
Ketiga, berkenaan dengan matra substansi hukum, peran hukum sebagai instrumen keadilan harus difungsikan melalui jalur-jalur konstitusional. Menurut teori konsensus, jalur konstitusional merupakan manifestasi persetujuan rakyat yang memiliki legitimasi hukum. Tentu dibutuhkan di sini sikap responsif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam proses legislasi nasional, yakni menghilangkan atau menggantikan hukuman mati dengan bentuk penanganan yuridis yang manusiawi. Sikap responsif DPR terhadap substansi hukum itu perlu dikembangkan melalui pemberdayaan lembaga DPR, optimalisasi hak-hak anggota DPR dan prosedur-prosedur konstitusional yang lebih peka terhadap tuntutan rasa keadilan masyarakat. *)

*)Charles Beraf, Wartawan dan Wakil Direktur Penerbit Lamalera, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar